Jumat, 27 Januari 2012

Tak Terduga : Injil-injil Koptik Tak Dikenal, Ditemukan di Mesir





Penemuan sejumlah manuskrip kuno berbahasa Ibrani dan Aramaik di gua-gua Khirbat Qumran, di tepian Laut Mati antara tahun 1947-1954 telah memancing perdebatan di kalangan para ahli dan menarik perhatian para pembaca di seluruh dunia. Salah satu faktor paling penting sehingga menyita perhatian banyak pihak dalam hal ini adalah kemungkinan adanya penambahan­penambahan historis sehubungan dengan perkembangan gerakan Kristen pada abad-abad permulaan dan dengan kisah kehidupan Almasih secara khusus. Kendati adanya kemiripan besar -yang diketahui dari terjemahan naskah-naskah Qumran­antara Jemaat Esenes Yahudi dan kepercayaan­kepercayaan Kristen di abad-abad pertama, namun sejauh ini tidak ditemukan sumber yang menyebut nama Almasih, atau paling tidak nama "guru bijak" berikut masa sejarah kehidupan sang guru.

Meski beberapa kepercayaan jamaat Qumran dekat dengan ajaran Kristen, namun mereka merupakan bagian dari eksistensi Yahudi secara keseluruhan. Oleh sebab itu sebagian mengistilahkan mereka dengan sebutan "Judeo-Kristen", atau sekelompok penganut Yahudi sekaligus Kristen. Terlepas dari itu semua, Jemaat Esenses telah meninggalkan wilayah Qumran menyusul berkecamuknya revolusi Yahudi melawan Romawi kemudian seolah-olah lenyap tanpa bekas setelah peristiwa pembakaran Beit Suci Yerusalem pada tahun 70 M. Sejauh ini tidak ditemukan adanya indikasi apapun bahwa mereka itulah yang menyebarkan agama Kristen di wilayah imperium Romawi.

Ramainya opini yang berkembang sehubungan dengan penemuan naskah Laut Mati ini, nyaris melalaikan adanya penemuan lain yang tidak kalah pentingnya di wilayah Mesir bagian selatan -dua tahun lebih awal dari penemuan naskah Qumran-. Manuskrip yang ditemukan ini tertulis dalam bahasa Koptik dan berisi ajaran-ajaran Kristen. Sejak Kristen memiliki otoritas politik, menyusul kesediaan Kaisar Konstantinopel untuk memeluk agama Kristen pada pertengahan abad ke-4 M, Gereja Romawi mengeluarkan perintah membakar seluruh tulisan­tulisan yang dinilai bertentangan dengan ajaran gereja. Hal ini menyebabkan hilangnya sebagian besar sumber sejarah perkembangan jemaat-jemaat Kristen periode awal khususnya di Mesir.

Para petinggi Gereja Romawi sejak semula menilai bahwa ajaran-ajaran Kristen di Mesir adalah bid'ah (heretik) dan tidak bisa diterima. Jumlah orang­orang Koptik yang tewas oleh kekejaman Gereja Romawi jauh lebih banyak dari jumlah orang yang tewas di tangan penguasa pagan Romawi pada zaman sebelum itu. Hanya sebagian pendeta-pendeta Mesir sempat menyembunyikan sekumpulan tulisan Koptik di salah satu gua di pinggiran wilayah Mesir. Setelah dilakukan penelitian, ternyata tulisan-tulisan itu memiliki nilai yang lebih penting dari tulisan-tulisan yang ditemukan di Qumran dalam konteks pelacakan sejarah gerakan I<risten masa awal.

Dalam pandangan pribadi penulis, bukti-bukti sesungguhnya dari tulisan-tulisan di Nag Hamadi itu akan mengantarkan pada pengetahuan bahwa gerakan Kristen yang tersebar di penjuru imperium Romawi bukan bersumber dari Yehuda, tetapi dari Aleksandria.

Pada bulan Desember, lima puluh tahun yang lalu -beberapa bulan menyusul berakhirnya Perang Dunia II- salah seorang petani secara tidak sengaja menemukan sebuah perpustakaan I<risten kuno di gua­gua gunung Taref, yang dipergunakan oleh orang­orang Mesir kuno sebagai kuburan. Kemudian gua­gua yang jumlahnya mencapai 150 buah itu dipergunakan oleh para pendeta Bakhumiets pada abad-abad pertengahan sebagai tempat persembunyian.

Konon, Muhammad Ali As-Samman dan saudaranya Khalifah, sedang mengumpulkan pupuk di dekat gunung Taref, 10 km timur laut kota Nag Hamadi, di Mesir bagian selatan. Kerika tengah melakukan penggalian, Muhammad mendapati sebuah sebuah gentong tertimbun tanah yang sedang digalinya. Ketika diangkat ke permukaan, tampak bahwa gentong itu cukup besar, tingginya hampir satu meter.

Tutup gentongpun segera dibuka dengan hati­hati oleh keluarga petani miskin itu dengan harapan akan menemukan harta karun di dalamnya. Lantaran tidak sabar, Samman mengambil sebuah kapak untuk memecahkan gentong, bukannya emas yang tersimpan, tetapi gulungan-gulungan kulit kuno. Dengan rasa kecewa kedua orang bersaudara itu mengangkut harta karun yang mereka dapat itu di atas punggung unta untuk dibawa pulang ke rumah mereka di dusun Hamra Dum. Gulungan-gulungan kulit itu dicampakkan begitu saja dekat perapian kalau-kalau bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Kedua orang yang memang tidak kenal baca tulis itu jelas tidak mengetahui pentingnya kitab-kitab kuno. Namun takdir yang sebelumnya telah menyelamatkan tulisan kuno itu selama lebih dari 15 abad di bawah timbunan tanah pekuburan, tidak membiarkan nasib benda bersejarah itu musnah di perapian keluarga petani miskin. Sebulan menyusul penemuan tulisan kuno itu, kedua bersaudara Samman terpaksa meninggalkan rumah untuk melarikan diri dari kejaran pihak berwenang karena tuduhan melakukan balas dendam atas pembunuhan ayah mereka. Khawatir polisi akan mengetahui temuan mereka, kedua bersaudara Samman menitipkannya pada salah seorang pendeta Koptik di kota.

Ketika Ragheb Andraus, adik ipar pendeta - yang bekerja sebagai guru- menyaksikan jilidan-jilidan tulisan kuno itu, segera dia mengerti bahwa itu adalah tulisan-tulisan Koptik kuno yang tentu saja memiliki nilai arkeologis yang tinggi. Diambilnya satu lembar untuk dibawa ke Kairo dan ditunjukkan pada temannya, George Subhi yang memahami bahasa Koptik. Selanjutnya Subhi membawa lembaran itu ke Museum Mesir untuk diperlihatkan kepada direktur Etian Dreytonx, yang berkebangsaan Perancis. Mengetahui nilai sejarah tulisan kuno itu Etian membelinya dengan harga 250 pound Mesir. Bagian lain dari manusl<rip kuno itu dalam waktu singkat telah berada di tangan pedagang barang antik di Kairo. Namun, secepat itu pula Kementerian Arkeologi Mesir dapat melacak seluruh peninggalan bersejarah itu dan mengambilnya untuk ditempatkan di Museum Koptik, sembari menjanjikan ganti rugi kepada pemiliknya.

Pada saat itu Kementerian Ilmu Pengetahun Mesir yang membawahi Departeman Arkeologi pada masa pemerintahan An-Nahhas Basya, dijabat oleh Dr. Toha Husein, yang meminta anggaran khusus dari pemerintah guna membeli semua naskah yang ada. Yang perlu dicatat adalah kebijakan yang diambil oleh Kementerian Pengetahun Mesir yang saat itu pula mengeluarkan izin bagi setiap peneliti untuk menelaah naskah-naskah kuno itu. Akan tetapi menyusul terjadinya Revolusi bulan Juli 1952, Pemerintahan Mesir yang baru menguasai semua naskah yang ada tanpa ganti rugi, dengan alasan sebagai kekayaan negara.

Demikianlah bahwa Departemen Arkeologi Mesir berhasil menyelamatkan semua naskah kuno yang ditemukan di Nag Hamadi itu dan menyimpannya di Museum Koptik Kuno di Kairo. Kecuali ada satu jilid yang terdiri dari 15 lembar, telah dijual di luar Mesir dan dibeli oleh Institut Young pada bulan Mei 1952 untuk selanjutnya dihadiahkan kepada llmuwan terkenal dalam Ilmu Jiwa yang tidak lain adalah Gustavo Young, karib Sigmund Frued, bertepatan dengan hari ulang-tahunnya. Setelah Young wafat, naskah itu lantas dikembalikan ke Museum Koptik.

Berdasarkan hasil penelitian, apa yang diketemukan di Nag Hamadi merupakan sebuah perpustakaan besar yang menyimpan 52 buah naskah dalam 1152 halaman yang terbagi menjadi 13 jilid yang sebagaian besar tertulis dalam bahasa Koptik. Konon, para penulis Mesir semenjak zaman Ptolomeus telah menggunakan huruf-huruf Yunani untuk mengungkapkan bahasa asli Mesir yang merupakan gabungan dari kalimat dan kaidah Mesir-Yunani. Inilah bahasa yang dipergunakan oleh para penulis Mesir untuk menyusun tulisan-tulisan Kristen. Bahasa ini pulalah yang menjadi bahasa resmi Gereja Koptik Mesir hingga tahun lima puluhan dan kemudian digantikan dengan Bahasa Arab.

Pada tahun 1956, pemerintah Mesir menyelenggarakan muktamar dengan mendatangkan para peneliti di sejumlah museum dunia dalam rangka menyusun proyek penterjemahan dan pengkajian naskah-naskah, tetapi rencana tersebut gagal. Pada tahun 1961 di bawah sponsor Unesco, dibentuk sebuah komisi dunia untuk tujuan yang sama. Agenda pertama yang dapat diselesaikan oleh komisi adalah melakukan pemotretan seluruh naskah kemudian mempublikasikan hasil pemotretan itu dalam satu jilid di kota Leiden, Belanda, untuk memberikan kesempatan seluas mungkian kepada para peneliti untuk melakukan peninjauan. Menyusul sesudah itu pembentukan komisi di Amerika Serikat di bawah pengawasan Pakar Teologi James Robinson dan berhasil merampungkan terjemahan naskah dalam bahasa Inggris tahun 1975, menyusul kemudian terjemahan dalam bahasa Jerman dan Perancis.

Naskah-naskah Koptik yang berhasil ditemukan di Nag Hamadi itu sesungguhnya berisi tulisan-tulisan Kristen yang dibuat oleh Jemaat-jemaat yang muncul pada awal abad pertama Masehi, yang dikenat dengan sebutan "Al-Arifin", yang memiliki kemiripan besar dengan Tarikat Sufi pada zaman sekarang. Jemaat Arifin menganut paham "dualisme wujud", jasad dan ruh, kenihilan dan wujud, yang keduanya senantiasa dalam pergulatan sepanjang masa. Jemaat Arifin bercita-cita untuk sampai kepada makrifat yang hakiki yang -dalam pandangan mereka- bukan makrifat yang dicapai melalui eksperimen dan indera karena bersifat jasadi. Namun makrifat yang sesungguhnya adalah mencapai pengetahuan tentang ruh ilahi yang tinggi. Dan tidak akan mampu mencapai derajat ini kecuali melalui makrifat manusia pada diri sendiri. Jemaat Arifin-lah yang mula-mula merumuskan dasar-dasar Ilmu Jiwa, dan inilah alasan Gustaf Young menaruh minat sangat besar pada tulisan-tulisan mereka.

Hingga bisa mencapai makrifat hakikat diri, orang-orang Jemaat Arifin tidak segan-seyan meninggalkan kekayaan dan profesi mereka untuk hidup menyendiri dan hidup sebagai ahli ibadah. Mereka hanya makan sepotong roti kering dan seteguk air. Menurut kepercayaan mereka, makrifat ruhiyah menuntut adanya penundukan jasad dan hawa nafsu hingga mampu mencapai derajat kebeningan jiwa. Sebagian besar waktu dipergunakan untuk beribadah, mambaca tulisan-tulisan Jemaat, atau menulis hal-hal baru dan membacakannya pada pertemuan reguler setiap pekan.

Kendati adanya kesulitan besar untuk mengetahui awal sejarah kemunculan Jemaat Arifin, namun di sana terdapat beberapa petunjuk yang mengarah pada penentuan zaman keberadaan mereka yakni semenjak awal pemerintahan Romawi di Mesir atau akhir abad pertama Masehi. Nama Jemaat Arifin pernah disebut dalam tulisan filosof Yahudi Philo Judaeus, yang menamakan mereka dengan sebutan "Serabite" atau "manusia-manusia fatamorgana". Mereka terkenal mahir mengobati penyakit-penyakit serius dan penyakit-penyakit jiwa dengan mempergunakan ramuan tumbuhan yang mereka tanam di padang pasir.

Dipastikan bahwa kehadiran agama Kristen di Mesir untuk pertama kalinya adalah melalui orang­orang Jemaat Arifin ini. Josephus, orang yang pertama kali menulis tentang Sejarah Gereja menyebutkan, orang-orang anggota Jemaat Arifin itulah yang sesungguhnya mewakili Gereja Mesir.

Perpustakaan Jemaat Arfin yang berhasil diketemukan di Nag Hamadi menyimpan Kitab-Kitab Injil yang tidak dikenal sebelumnya, di samping tulisan-tulisan sastera dan filsafat. Sebagaimana dimaklumi bahwa Perjanjian Baru terdiri dari empat Injil yang dinisbatkan kepada Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Injil-Injil inilah yang dinyatakan absah dan diakui oleh Gereja. Namun, berdasarkan pada temuan di Nag Hamadi, dengan jelas dinyatakan bahwa di sana terdapat lnjil-injil lain yang beredar semenjak abad ke-1 hingga abad ke-4 M, di antaranya Injll Thomas -atau Thoma- yang berisi sabda-sabda Almasih, yang sebagian tercantum dalam empat Injil Perjanjian Baru. Ada lagi Injil Maria Magdalena, Injil Orang-orang Mesir, Injil Philip dan Injil-injil yang lain.

Sementara penulisan Injil-Injil Perjanjian Baru berasal dari tahun 70 M, kita mendapati bahwa Injil Thomas ditulis pada dua puluh tahun sebelumnya. Berdasarkan perhitungan waktu ini maka Injil Tomas merupakan Iniil paling tua di antara Iniil-injil yang ada saat ini.

Jemaat-jemaat Kristen awal -khususnya yang berada di Mesir- menganut ajaran yang berbeda dengan ajaran Gereja Romawi semenjak abad ke-2 M. Ketika para Uskup mulai melakukan pembenahan gerakan Kristen berdasarkan ajaran-ajaran kependetaan pada awal abad ke-3 M, mereka mulai - khususnya para uskup Roma- memaksakan ajaran mereka kepada gereja-gereja lain yang jika menolak, mereka akan dianggap melakukan bid'ah dan kesesatan (terkena anathema-pent.).

Nasib gereja-gereja Mesir dalam hal ini, sungguh sangat mengenaskan karena mereka tidak mau tunduk kepada kekuasaan Roma. Pada saat Kaisar Konstantin menyatakan diri sebagai penganut Kristen pada abad ke-4 M, dan Kristen menjadi agama resmi Kekasisaran Romawi, wibawa Gereja menjadi semakin besar dan selanjutnya mengeluarkan maklumat untuk membakar semua tulisan yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Pada zaman inilah terjadi tragedi pembakaran rumah ibadah Sarabium di Aleksandria dan sebagian besar manuskrip yang ada di perpustakaan agung Aleksandria ikut terbakar. Inilah barangkali di antara sebab yang mendorong pendeta-pendeta Bachumiyyin di Nag Hamadi untuk menyelamatkan tulisan-tulisan kuno itu, memasukkannya di dalam gentong lalu menyembunyikannya ditempat terpencil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar